Dari judulnya, mungkin rada ambigu ya. Status yang dimaksud itu status apa. Status relationship kah? Status FB kah? Status Ym! kah?
Tapi sebenernya bukan itu....
Status yang kumaksud disini berhubungan dengan kelas akselerasi dan Pas-Q V. Jadiiiii, begini lho ceritanya :
Di SS Pas-Q V (ekskul paskibra di smala) , saat kami masuk jadi anggota, kami nggak otomatis jadi anggota aja yang bercampur baur antara kelas X, XI, dan XII. Kami punya sistem 'Angkatan'. Nah, angkatannya itu berdasarkan kelas, dan bukan taun masuk. Jadi misalnya aku masuk Pas-Q V pas aku kelas X tahun 2009, berarti aku masuk angkatan 18 (soalnya angkatan 1 mulainya taun 1992). Tapi kalo ada anak kelas XI yang mau masuk Pas-Q V pas 2009 (bareng aku), dia nggak masuk angkatan 18, tapi diproses sendiri buat masuk angkatan 17 (yang setara sama dia kelas XI). Nah, kalo sekolahnya normal 3 tahun kan gak bakal ada masalah, masalahnya itu ada buat anak kelas akselerasi yang sekolah SMA cuma 2 tahun (contohnya: AKU).
Karena aku anak akselerasi, otomatis waktuku buat SMA lebih pendek, dan otomatis nggak bisa meluangkan waktu buat Pas-Q sebanyak temen-temen yang lain. Selain itu, kesempatan buat ikut tes jadi Paskibraka Kota, Provinsi, ataupun Nasional cuma dateng satu kali (Dan sayang sekali aku nggak dapet kesempatan itu,, sampe sempet envy gitu sama temen yang ikut tes). Satu lagi, karena aku anak akselerasi, otomatis pas aku lulus, temen-temenku masih baru naik ke kelas XII. Nah, yang bikin bingung adalah kalo ada kegiatan Pas-Q V yang anually kayak Buka Puasa Bersama (di SMAN 5 Surabaya), Demo SS (demo promosi ekskul), Diklat, dll. Kalo dilihat secara status angkatan, aku masih terhitung senior kelas XII, berarti semestinya saya datang ke acara-acara itu dengan menggunakan Baju Angkatan XVII. Tapiiiiii (ada tapinya dong) ..... Kalo dilihat secara kelulusan, aku sudah terhitung alumni, jadi aku sudah boleh datang ke acara-acara itu dengan baju bebas seperti alumni-alumni yang lain. Nah, ini nih yang bikin dilema. Aku bingung musti gimana. Di satu sisi, aku musti mikirin solidaritas sama temen-temenku seangkatan, tapi di sisi lain, alumni-alumni yang lain bakal nanya : "lho, kamu kok masih pake baju angkatan , dek?"
Nah loh... kalo udah gini lantas gimana? Masa aku nggak dateng? Padahal kan aku pengen dateng...
Sampe akhirnya aku nanya ke seniorku yang juga udah jadi alumni kayak aku. Bukannya dapet solusi yang meyakinkan, malah diomong : "Lhoalah dek, statusmu nggak jelas se. Jadi sweeper aja dek,". Padahal sweeper yang dia maksud itu yang kayak di Dora the Explorer. Yang suka mengendap-endap. -____-"
Aaaah, gatau lah. Nanti kalo dapet undangan acara gitu-gitu, nanya lagi aja. Bikin galau deh ini... Padahal aku kan labil, jadi bikin tambah dilema...
Yasudahlah, pasrah (~o~)"
Kayaknya cukup segitu dulu aja ceritanya,, gak enak kalo panjang-panjang, tambah bikin galau, ababil...
Saturday, August 20, 2011
Sunday, August 14, 2011
Mengutarakan pikiran
Mungkin terlalu klasik kalo saya baca ato dengar kutipan "Jangan bermimpi terlalu tinggi jika kamu belum siap untuk jatuh" , "Bermimpilah tinggi asal kamu siap merasakan bagaimana sakitnya jatuh" atau ungkapan-ungkapan lain yang semacam itu.
Bagi orang yang terbiasa bermimpi tinggi, ambisius, perfeksionis, bermental baja, ato malah cuek, kalimat-kalimat itu akan terdengar biasa. Kenapa? Karena mereka merasa tidak terbebani untuk bermimpi, karena mereka tahu benar apa yang mereka impikan, karena mereka mungkin sudah siap jatuh (atau bahkan sudah pernah jatuh, atau malah tidak terlalu peduli dengan kejatuhan?). Tapi sebenarnya yang alasan yang menurut saya lebih real adalah mereka sudah berhasil melawan ketakutan terhadap diri mereka sendiri.
Bagaimanapun, penghalang terbesar bagi diri kita untuk bermimpi tinggi adalah diri kita sendiri. Mungkin banyak dari kita yang merasa 'aduh, aku kok gini ya?' , 'aduh, aku kok kurang ini ya?' , 'aduh, kok gak bisa ya?' dll. Justru hal sepele seperti itu yang menimbulkan penghalang terbesar dari diri kita. Di satu sisi kita ingin bermimpi, mengejarnya, lalu meraihnya. Tapi di sisi lain, kita kehilangan kepercayaan diri hanya karena pertanyaan dan pernyataan silly yang tidak seharusnya mucul. Hilangnya kepercayaan diri itu yang membuat kemampuan kita tersamarkan, atau bahkan yang lebih parah, back to zero. Dalam hal ini, kita bisa langsung lihat bedanya antara orang yang bisa memenangkan perang 'Me vs Me' ini dengan yang kalah.
Orang yang menang, sudah pasti akan memiliki keberanian yang lebih besar untuk bermimpi sebanyak yg mereka mau, setinggi yang mereka mau, karena mereka sudah mengenal diri mereka lebih dalam. Mereka tidak lagi takut untuk jatuh, karena mereka sudah mempersiapkan mimpi mereka dan mereka bertransformasi (aku tidak menemukan kata lain yang lebih keren) menjadi risk-taker yang cukup kuat dan berani. Ibaratnya seperti ini, mimpi mereka yang tinggi adalah pesawat tempur yang mampu terbang tinggi dan mereka adalah awak pesawat yang siap pergi bertempur dan tentu saja membawa parasut di pesawat. Nah, saat misalnya mimpi mereka tersendat di tengah jalan dan membuat mereka tidak bisa maju sejenak, seperti misalnya pesawat itu rusak di udara dan harus mendarat darurat, mereka bisa mengatasinya dengan bijak, seperti awak pesawat yang sudah siap terjun meninggalkan pesawat (lebih tepatnya menyelamatkan diri, karena siapa juga yg mau mati begitu saja di pesawat rusak?) dengan parasut dan beristirahat sejenak untuk memikirkan bagaimana kelanjutan misi mereka.
Sedangkan orang yang kalah, akan cenderung berpikir jangka pendek, tidak berani bermimpi terlalu banyak/terlalu tinggi, dan of course tidak berani mengambil resiko besar. Kenapa tidak berani bermimpi tinggi? Karena mereka tidak punya cukup keberanian untuk membayangkan bagaimana rasanya jika jatuh. Jangankan keberanian untuk menerima kenyataan jika misalnya nanti mereka jatuh, membayangkannya saja tidak bisa. Yang kira-kira bisa diibaratkan mimpi mereka adalah mangga yang matang dan ranum di puncak pohon (bandingkan dengan yang pesawat tadi) dan mereka adalah orang yang siap untuk memanjat pohon untuk mengambil mangga itu. Tapi tahukah kamu bagaimana cara mereka mengambil mangganya? Mereka memanjat dengan tali pengama di pinggang mereka dan beberapa matras yang diletakkan di bawah pohon. Kenapa? karena mereka takut merasa sakit jika misalnya mereka jatuh. Tapi jika permisalan kali ini diperuntukan bagi orang yg menang, mereka akan memanjat tanpa takut, karena mereka pikir rasa sakit jatuh pohon itu tidak sebanding dengan mimpi-mimpi mereka yang lain yang lebih tinggi.
Yah, begitulah pandangan saya beserta pendapatnya. Mungkin ada yang berpikir tulisan saya agak silly, stupid, atau bahkan menggunakan perbandingan yang terlalu jauh. Tapi jujur, saya hanya ingin mengungkapkan apa yang ada di pikiran saya. Bukan bermaksud menjatuhkan, tapi malah ingin memotivasi.
Semoga saja tulisan ini bermanfaat buat siapa saja yang membacanya :)
"Kalau kamu takut bermimpi tinggi, kenapa tidak kamu tanyakan pada dirimu dulu, sebenarnya yang kamu takutkan itu mimpi yang tinggi itu atau jatuh bebas dari mimpi itu."
Subscribe to:
Posts (Atom)